Aku menyembunyikan jasadmu di lapisan terdalam,
dari darah dan daging dan dosa.
Aku menyimpan dan menyekapmu begitu erat,
Sehingga hanyalah angin yang tersebut.
Aku mengutuk, mengumpat begitu sempurna,
bagaikan sang abdi beraksi dan pantang bersaksi!
Aku mencibir di antara lampau dan kini,
sepertinya Tuhan telah menyetubuhiku secara sempurna!
Dan di saat itulah aku tahu bahwa…
Suci bukanlah duniaku.
Dan aku bukanlah sekedar terbuang!
Ya! Aku belum sampai di awan—Belum tenang!
Masih kotor dan masih terbuang!
Tetapi… aku mengakuiNya!
Dan bergairah sedemikian rupa.
Dan di saat itulah aku tahu bahwa…
Suci belumlah memelukku.
Selayaknya membuat jasad meresapi!
Aku… akan menyembunyikan jasadku nanti,
di antara yang terbuang dan yang tersayang.
Oh Tuhanku!
Sambutlah mayat ini dalam pelukanmu!
hanyalah kata semata tapi berupaya
kiasan belaka namun candamu slalu di rasa
hanyalah engkau yang kadang bangkitkan aku
hingga tak ku rasa hadirmu berarti tak disangka
Maaf dan sebenarnya kata ma’af
begitu banyak kekilafan ini
begitu tuli untuk ku dengar
tampak buta mataku melihatmu
karena aku…
keras kepala,telah lupa,telah ingkar….
Kenapa?
Tak begitu
seharusnya aku?
Menebus kerendahan moralku
semua kesalhanku...
dimana aku lupa apa yang kau rasa
dimana aku tak sadar apa yang kita pernah cita2citakan
dan begitu sibuknya aku dengan alur waktu yang menjeratku
sahabat… Maafkan aku atas sikap dan kesalahanku selama ini….
Cairan kataku putih
Bersimpuh dengan elegi
tentang kupu-kupu dan bunga
yang kulukis dengan air mata dan keringat
Kau wajah yang memurnikan
suara yang tumpahkan teduh
pemilik gerimis di bulan Desember
Penjahit yang menambal sunyi
Kau tanya kemana airmataku?
Entah, tak sempat kutanyakan kemana perginya
Karena aku belajar diam seperti cangkang telur
Tapi jantung katamu memecah
menemukan inti untuk ringankan beban
Puisi untukmu memang biru
bukan karena haru
tapi karena kenangan kita
tak akan pernah jadi abu..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar